Sedangkan: Al-Fatihah ialah merupakan tubuh sembahyang Tahayat ialah merupakan hati sembahyang Salam ialah merupakan kaki tangan sembahyang. . HAKEKAT AL-FATIHAH DALAM SHOLAT Membersihkan hati dari pada syirik kepada Allah swt Mengingat kita bahwa tubuh manusia itu mempunyai 7 lapis susunan jasad yaitu : 1. Bulu 2.
Arti, Hakikat dan Makna dari Surat Al Fatihah Surat Al Fatihah menjadi menu sehari-hari umat Muslim dalam menjalankan ibadah. Tak hanya menu sehari-hari, Surat Al Fatihah telah menjadi nafas umat Islam di belahan dunia. Untuk itu, pengertian dan isi makna dari Surat Al Fatihah menjadi penting diketahui agar kita sebagai umat Islam bukan saja memposisikan bacaan ritual semata, tetapi juga mengetahui pengertian Surat Al Fatihah, hakikat Surat Al Fatihah dan makna dari Surat Al Fatihah. Diakui atau tidak, umat Islam banyak yang taqlid untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam tanpa mengetahui arti, hakikat dan makna dari Surat Al Fatihah. Padahal, Surat Al Fatihah memiliki substansi, esensi dan isi kandungan yang menjadi inti daripada isi Al Quran. Dengan hadirnya tulisan surat al fatihah bahasa indonesia, diharapkan umat Muslim bisa mengerti dua hal, yaitu arti terjemahan Surat Al Fatihah secara literal. Kedua, mengetahui hakikat dan makna dari Surat Al Fatihah. Dengan begitu, ibadah kita semakin khusyuk dan sempurna apabila kita paham dan mengerti segala apa yang ada di dalam kandungan Surat Al Fatihah yang menjadi surat pembuka dalam Al Quran. Arti dari Surat Al Fatihah Surat Al Fatihah biasa disebut dengan ejaan surah Al Fatihah. Kenapa disebut dengan fatihah? Kenapa tidak dengan nama yang lain? Ya, Allah SWT telah memilih Surah Al Fatihah sebagai pembukaan dalam Al Quran. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan nama Surat Al Fatihah di mana al fatihah berarti pembukaan. Surah Al Fatihah adalah surat yang diturunkan di kota Mekah yang terdiri 7 ayat. Selain dijuluki “pembuka” sebagaimana arti al fatihah, Surat Al Fatihah juga dikatakan sebagai ummul kitab yang artinya adalah induknya kitab Al Quran Kenapa demikian? Pasalnya, Allah Swt sudah memberikan klaim bahwa Surah Al Fatihah adalah induk dari segala isi yang ada dalam kitab Al Qur’an. Surat Al Fatihah juga menjadi bacaan wajib saat sholat dan biasa dibaca sebelum membaca surat-surat yang ada dalam Al Qur’an. Oleh karena itu, Surat Al Fatihah dikatakan sebagai As Sab’ul Matsaany yang berarti ayat yang jumlahnya tujuh dan dibaca berulang dalam setiap sholat. Demikian arti dari Surat Al Fatihah. Selanjutnya, kita bahas mengenai hakikat dan makna surat Al Fatihah. Hakikat dan makna dari Surat Al Fatihah Surat Al Fatihah memiliki peran sentral dalam setiap pengalaman beragama umat Muslim. Tanpa memakai Surah Al Fatihah, sebuah aktivitas sholat dianggap tidak sah. Sementara itu, dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa sholat yang tidak menggunakan Surat Al Fatihah, maka sholatnya menjadi pincang dan tidak sempurna. Meski begitu, ada semacam pemakluman bagi umat Muslim yang tidak hafal Surat Al Fatihah agar membaca surah al fatihah yang disingkat “subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahuakbar wala qaula wala kuwata ila billa hil aliyyil adzim.” Berikut ini adalah surat al fatihah bahasa indonesia untuk selanjutnya kita mengetahui arti, hakikat dan makna dari surah al fatihah. Surat Al-Fatihah bahasa Indonesia 1. Alhamdulillahi rabbil alamin Artinya adalah segala puji untuk Allah sebagai Tuhan segala semesta alam. Hakikat dan makna dari ayat ini adalah kita sebagai manusia sudah seharusnya memuji Allah sebagai Tuhan bagi segala makhlum yang ada di alam semesta, baik manusia, jin, hewan, tumbuhan, planet, galaksi dan segala yang ada di semesta ini. Kalimat Alhamdulillahi rabbil alamin biasanya digunakan umat Muslim untuk bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada hambanya. Ucapan Alhamdulillahi rabbil alamin sudah menjadi bagian dari tradisi dan budaya umat Islam saat mendapatkan berkah atau sesuatu yang dianggap menyenangkan baginya. 2. Arrahmanirrahim Kalimat arrahmanirrahim artinya maha pemurah dan maha peyayang. Arti dan tafsir arrahmanirrahim menggambarkan sifat-sifat Allah yang maha pengasih pemurah dan maha penyayang. Allah lah satu-satunya dzat yang memiliki keluasan rasa kasih kepada makhluknya tanpa batas dan punya rasa sayang kepada makhluk-Nya yang tiada bertepi. Arti makna dan hakikat surat Al Fatihah yang termaktub dalam ayat arrahmanirrahim artinya memberitahukan kita bahwa hidup ini, kesehatan ini, dan apa yang ada dalam diri kita saat ini merupakan rahmat dari kasih dan sayang Allah kepada kita. Pernahkah kita berpikir bahwa kesehatan itu mahal harganya? Kesehatan yang mahal harganya itu menjadi bagian dari rahmat, kasih dan sayang Allah kepada kita. Oleh karena itu, melalui surat Al Fatihah dalam ayat Arrahmanirrahim artinya kita harus senantiasa mengerti bahwa kasih dan sayang Allah kepada makhluknya tidak terbatas. yaumiddin Ayat dan kalimat maliki yaumiddin artinya yang menguasai pada Hari Pembalasan kelak. Malik berarti yang menguasai, dan yaumiddin berarti hari pembalasan. Ada juga yang mengartikan Maaliki yaumiddin adalah Allah yang maha merajai hari akhir atau hari pembalasan nantinya. Hidup itu hanya sekadar mampir minum dan hakikat daripada kehidupan adalah akhirat di mana hari pembalasan selalu ada untuk memberikan pembalasan terhadap apa yang dikerjakan manusia selama hidupnya. Dalam sebuah ayat dalam Al Quran disinggung bahwa seberat biji zarah pun setiap perbuatan baik kebaikan maupun keburukan pasti ada balasannya. Dan, di hari pembalasan kelak hanya Allah yang menguasai atau merajai. Secara singkat, tafsir makna dan arti dari maliki yaumiddin adalah Allah yang maha kuasa di mana Allah yang akan menguasai dan merajai nanti pada hari pembalasan, yaitu hari di mana setiap perbuatan manusia mendapatkan balasan. 4. Iyya kana’budu wa iyya kanasta’in Arti iyya kana’budu wa iyya kanasta’in adalah hanya Allah yang kami sembah dan hanya kepada Allah lah kami meminta pertolongan. Arti makna dan hakikat dari ayat iyya kana’budu wa iyya kanasta’in adalah bahwa Allah merupakan dzat yang kita sembah dan satu-satunya dzat yang bisa dijadikan sandaran untuk meminta pertolongan. Melalui ayat iyya kana’budu wa iyya kanasta’in, manusia seharusnya tahu dan mengerti bahwa Allah lah satu-satunya dzat yang disembah dan Allah lah satu-satunya dzat yang dijadikan sandaran atau tempat untuk meminta pertolongan. Tidak ada yang lain. Allah adalah satu-satunya dzat yang harus kita sembah dan kita minta pertolongan. 5. Ihdinas siratal mustaqim Arti dan maksud ihdinas siratal mustaqim adalah tunjukkan kami jalan yang lurus. Hal ini menjadi doa bagi kita untuk meminta kepada Allah agar kita ditunjukkan oleh Allah dengan jalan dan hidayah yang lurus, yaitu jalan kebenaran. Arti dan maksud ihdinas siratal mustaqim dalam surat Al Fatihah menegaskan kepada umat Islam untuk meminta kepada Allah agar senantiasa diberikan pintu hidayah melalui jalan yang lurus, yaitu jalan yang benar menurut Allah. Pasalnya, hidup ini senantiasa selalu ada godaan dan bujukan rayu syaitan. Oleh karena itu, melalui kalimat ihdinas siratal mustaqim maksudnya agar kita diberikan jalan yang lurus dan dan jalan yang diridhai oleh Allah. Begitulah arti, makna dan maksud ihdinas siratal mustaqim. 6. Shirotholladziina an’ amta alaihim ghoiril maghdhuubi alaihim walodh dholliin Artinya adalah jalan orang-orang yang telah Allah berikan nikmat, bukan jalan yang murkai Allah dan juga bukan jalan yang sesat. Arti, makna dan hakikat dari ayat dalam surah al fatihah ini bahwa kita meminta kepada Allah agar diberikan petunjuk atau hidayah berupa jalan yang lurus melanjutkan kalimat ihdinas siratal mustaqim, yaitu jalan yang benar-benar dirahmati oleh Allah, bukan jalan yang dimurkai atau jalan yang sesat sebagaimana orang-orang telah dimurkai dan disesatkan oleh Allah karena kelakuan dan perbuatan mereka sendiri. Demikian arti, hakikat dan makna dari surat Al Fatihah yang disertai dengan artikel surat al fatihah bahasa Indonesia. Semoga bisa memberikan manfaat yang nyata dalam menjalankan ibadah sehari-sehari sebagai seorang Muslim yang selalu mengharapkan rahmat dan ridho Allah. Semoga bermanfaat bagi kita semua,amin ya robbal alamin. Pengacara Muslim d/a Alamat Jl. Monjali Nyi Tjondroloekito No. 251, Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta Telp. 0274 6411320 Fax. 0274 6411322 BBM 5439F39 PH/WA 087838902766 Email lawoffice251 Twitter pengacaramuslim Facebook Pengacara Muslim Website
AlQur'an Digital. Kembali ke Daftar Surah. 2. Al-Baqarah. Ayat 26. QS. Al-Baqarah Ayat 26. ۞ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَسْتَحْيٖٓ اَنْ يَّضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوْضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَيَعْلَمُوْنَ
Mari memaknai Surat Al Fatihah Dalam suatu hadits Nabi saw. Beliau bersabda, "Setiap kandungan dalam seluruh kitab-kitab Allah diturunkan, semuanya ada di dalam Al-Qur'an. Dan seluruh kandungan Al-Qur'an ada di dalam Al-Fatihah. Al Fatihah Dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam Bismillnahirrahmaanirrahiim". Bahkan disebutkan dalam hadits lain,"setiap kandungan yang ada dalam Bismillahirrahmaanirrahiim ada di dalam huruf Baa', dan setiap yang terkandung di dalam Baa’ ada di dalam titik yang berada dibawah Baa'".Hakekat Al Fatihah Perspektif MARIFAT Dalam Kajian Perspektif orang yang ma'rifat kepada Allah, Bismillaahirrahmaanirrahim itu kedudukannya sama dengan "kun" dari Allah”. Perlu diketahui bahwa pembahasan mengenai Bismillahirrahmaanirrahiim banyak ditinjau dari berbagai segi;Baik dari segi gramatikal Nahwu dan sharaf ataupun segi bahasa etimologis, disamping tinjuan dari materi huruf, bentuk, karakteristik, kedudukan, susunannya serta keistemewaanya atas huruf-huruf lainnya yang ada dalam Surat Pembuka Al-Qur'an, kristalisasi dan spesifikasi huruf-huruf yang ada dalam huruf Baa', manfaat dan rahasianya. Esensi atau hakikat makna terdalam yang relevan dengan segala hal di sisi Allah Azza WaJalla. Pembahasannya akan saling berkelin dan satu sama lainnya, karena seluruh tujuannya adalah Ma’rifat kepada Allah Azza WaJalla. Kami memang berada di gerbangNya, dan setiap ada limpahan baru di dalam jiwa maka ar-Ruhul Amin turun di dalam kalbunya kertas. Ketahuilah bahwa Titik yang berada dibawah huruf Baa' adalah awal mula setiap surat dan Kitab Allah Azza WaJalla. Sebab huruf itu sendiri tersusun dari titik, dan sudah semestinya setiap Surat ada huruf yang menjadi awalnya, sedangkan setiap huruf itu ada titik yang menjadi awalnya huruf. Karena itu menjadi keniscayaan bahwa titik itu sendiri adalah awal dan pada setiap surat dan Kitab Allah Azza WaJalla. Kerangka hubungan antara huruf Baa' dengan Tititknya secara komprehensfih akan dijelaskan berikut nanti. Bahwa Baa' dalam setiap surat itu sendiri sebagai keharusan adanya dalam Bassmalah bagi setiap surat, bahkan di dalam surat Al-Baqarah Huruf Baa' itu sendiri mengawali ayat dalam surat tersebut. Karena itu dalam konteks inilah setiap surat dalam Al-Qur'an mesti diawali dengan Baa' sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an itu ada dalam surah Al-Fatihah, tersimpul lagi di dalam Basmalah, dan tersimpul lagi dalam Huruf Baa', akhirnya pada titik. . Hal yang sama , Allah Azza WaJalla dengan seluruh yang ada secara paripurna sama sekali tidak terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Titik sendiri merupakan syarat-syarat dzat Allah Ta'ala yang tersembunyi dibalik khasanahnya ketika dalam penampakkan-Nya terhadap mahlukNya. Titik itu tidak tampak dan tidak Layak lagi bagi anda untuk dibaca selamanya mengingat kediaman dan kesuciannya dari segala batasan, dari satu makhraj ke makhraj ia adalah jiwa dari seluruh huruf yang keluar dari seluruh tempat keluarnya huruf. Maka, renungkanlah ya batin dari Ghaibnya sifat Ahadiyah. Misalnya anda membaca titik menurut persekutuan, seperti huruf Taa' dengan dua tik, lalu Anda menambah satu titik lagi menjadi huruf Tsaa’, maka yang Anda baca tidak lain kecuali Titik itu sendiri. Sebab Taa' bertitik dua, dan Tsaa' bertitik tiga tidak terbaca,karena bentuknya satu, yang tidak terbaca kecuali titiknya belaka. Seandainya Anda membaca di dalam diri titik itu niscaya bentuk masing-masing berbeda dengan lainnya. Karena itu dengan titik itulah masing-masing dibedakan, sehingga setiap huruf sebenarnya tidak terbaca kecuali titiknya saja. Hal yang sama dalam perspektif makhluk, bahwa makhluk itu tidak dikenal kecuali Allah. . Bahwa Anda mengenal-Nya dari makhluk sesungguhnya Anda mengenal-Nya dari Allah Azza WaJalla. Hanya saja Titik pada sebagian huruf lebih jelas satu sama lainnya, sehingga sebagian menambah yang lainnya untuk menyempurnakannya, seperti dalam huruf-huruf yang bertitik, kelengkapannya pada titik tersebut. Ada sebagian yang tampak pada kenyataannya seperti huruf Alif dan huruf-huruf tanpa Titik. Karena huruf tersebut juga tersusun dari titik-titik. Oleh sebab itulah, Alif lebih mulia dibanding Baa',karena Titiknya justru menampakkan diri dalam wujudnya, sementara dalam Baa' itu sendiri tidak tampak Titik berdiri sendiri. Titik di dalam huruf Baa' tidak akan tampak, kecuali dalam rangka kelengkapannya menurut perspektif penyatuan. Karena Titik suatu huruf Merupakan kesempurnaan huruf itu sendiri dan dengan sendirinya menyatu dengan huruf tersebut. Sementara penyatuan itu sendiri mengindikasikan adanya faktor lain, yaitu faktor yang memisahkan antara huruf dengan titiknya. . Huruf Alif itu sendiri posisinya menempati posisi tunggal dengan sendirinya dalam setiap huruf. Misalnya Anda bisa mengatakan bahwa Baa' itu adalah Alif yang di datarkan Sedang Jiim, misalnya, adalah Alif dibengkokkan' dua ujungnya. Daal adalah Alif yang yang ditekuk tengahnya. . Sedangkan Alif dalam kedudukan titik, sebagai penyusun struktur setiap huruf ibarat Masing-masing huruf tersusun dari Titik. Sementara Titik bagi setiap huruf ibarat Neucleus yang terhamparan. Huruf itu sendiri seperti tubuh yang terstruktur. Kedudukan Alif dengan kerangkanya seperti kedudukan Titik. Lalu huruf-huruf itu tersusun dari Alif sebagimana kita sebutkan, bahwa Baa’ adalah Alif yang terdatarkan. . Demikian pula Hakikat Muhammadiyyah merupakan inti dimana seluruh jagad raya ini diciptakan dari Hakikat Muhammadiyah itu. Sebagaimana hadits riwayat Jabir, yang intinya Allah swt. menciptakan Ruh Nabi saw dari Dzat-Nya, dan menciptakan seluruh alam dari Ruh Muhammad saw. Sedangkan Muhammad saw. adalah Sifat Dzahirnya Allah dalam makhluk melalui Nama-Nya dengan wahana penampakan Ilahiyah. . Anda masih ingat ketika Nabi saw. diisra'kan dengan jasadnya ke Arasy yang merupakan Singgasana Ar-Rahman. Sedangkan huruf Alif, walaupun huruf-huruf lain yang tanpa titik sepadan dengannya, dan Alif merupakan manifestasi Titik yang tampak di dalamnya dengan substansinya Alif memiliki nilai tambah dibanding yang lain. Sebab yang tertera setelah Titik tidak lain kecuali berada satu derajat. Karena dua Titik manakala disusun dua bentuk alif, maka Alif menjadi sesuatu yang memanjang. Karena dimensi itu terdiri dari tiga Panjang, Lebar dan Kedalaman. . Sedangkan huruf-huruf lainnya menyatu di dalam Alif,seperti huruf Jiim. Pada kepala huruf Jiim ada yang memanjang, lalu pada pangkal juga memanjang, tengahnya juga memanjang. Pada huruf Kaaf misalnya, ujungnya memanjang, tengahnya juga memanjang namun pada pangkalnya yang pertama lebar. Masing-masing ada tiga dimensi. Setiap huruf selain Alif memiliki dua atau tiga jangkauan yang membentang. Sementara Alif sendiri lebih mendekati titik. Sedangkan titik , tidak punya bentangan. Hubungan Alif diantara huruf-huruf yang Tidak bertitik, ibarat hubungan antara Nabi Muhammad saw, dengan para Nabi dan para pewarisnya yang paripurna. Karenanya Alif mendahului semua huruf. . Diantara huruf-huruf itu ada yang punya Titik di atasnya, ada pula yang punya Titik dibawahnya,Yang pertama titik di atas menempatip osisi "Aku tidak melihat sesuatu sebelumnya kecuali melihat Allah di sana". . Diantara huruf itu ada yang mempunyai Titik di tengah, seperti Titik putih dalam lobang Huruf Mim dan Wawu serta sejenisnya, maka posisinya pada tahap, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali Allah didalamnya. " Karenanya titik itu berlobang, sebab dalam lobang itu tampak sesuatu selain titik itu sendiri Lingkaran kepada kepala Miim menempati tahap, "Aku tidak melihat sesuatu" sementara Titik putih menemptai "Kecuali aku melihat Allah di dalamnya." Alif menempati posisi "Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepadamu sesungguhnya mereka itu berbaiat kepada Alllah." Kalimat "sesungguhnya" menempati posisi arti "Tidak", dengan uraian "Sesungguhnya orang-orang berbaiat" kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu, kecuali berbaiat kepada Allah." . Dimaklumi bahwa Nabi Muhammad saw. dibaiat, lalu dia bersyahadat kepada bersyahadat kepada Allah pada dirinya sendiri, sesungguhnya tidaklah dia itu berbaiat kecuali berbaiat kepada Allah. Artinya, Anda sebenarnya tidak berbaiat kepada Muhammad saw. tetapi hakikat-nya berbaiat kepada Allah swt. Itulah arti sebenarnya dari Khilafah tersebut. . Menurut Ibnu Araby dalam Kitab Tafsir Tasawufnya, "Tafsirul Qur'anil Karim" menegaskan, bahwa dengan menyebut Asma Allah, berarti Asma-asma Allah Azza WaJalla diproyeksikan yang menunjukkan keistimewaan-nya, yang berada di atas Sifat-sifat dan Dzat Allah Ta'ala. Sedangkan wujud Asma itu sendiri menunjukkan arah-Nya, sementara kenyataan Asma itu menunjukkan Ketunggalan-Nya. . Allah itu sendiri merupakan Nama bagi Dzat Ismu Dzat Ketuhanan. dari segi Kemutlakan Nama itu sendiri. Bukan dari konotasi atau pengertian penyifatan bagi Sifat-sifat-Nya, begitu pula bukan bagi pengertian "Tidak membuat penyifatan". . "Ar- Rahman" adalah predikat yang melimpah terhadap wujud dan keparipurnaan secara universal. menurut relevansi hikmah. dan relevan dengan penerimaan di permulaan pertama. . "Ar-Rahiim" adalah yang melimpah bagi keparipurnaan maknawi yang ditentukan bagi manusia jika dilihat dari segi pangkal akhirnya. Karena itu sering. disebutkan, "Wahai Yang Muha Rahman bagi Dunia dan akhirat, dan Maha Rahim bagi akhirat". . Artinya, adalah proyeksi kemanusiaan yang sempuma, dan rahmat menyeluruh, baik secara umum maupun khusus, yang merupakan manifestasi dari Dzat Ilahi. Dalam konteks, inilah Nabi Muhammad saw. Bersabda, "Aku diberi anugerah globalitas Kalam, dan aku diutus untuk menyempurnakan akhlak menuju paripurna akhlak". . Karena. kalimat-kalimat merupakan hakikat-hakilkat wujud dan kenyataannya. Sebagaimana Isa as, disebut sebagai Kalimah dari Allah Azza WaJalla. Seangkan keparipurnaan akhlak adalah predikat dan keistimewaannya. Predikat itulah yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang terkristal dalam jagad kemanusiaan. Memahaminya sangat halus. Di sanalah para Nabi - alaihimus salam - meletakkan huruf-huruf hijaiyah dengan menggunakan tirai struktur wujud. Kenyataan ini bisa djtemukan dalam periode! Isa as, periode Amirul Mukminin Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah, dan sebagian masa sahabat, yang secara keseluruhan menunjukkan kenyataan tersebut. . Disebutkan, bahwa Wujud ini muncul dari huruf Baa’ dari Basmalah. Karena Baa’ tersebut mengiringi huruf Alif yang tersembunyi, yang sesungguhnya adalah Dzat Allah. Disini ada indikasi terhadap akal pertama, yang merupakan makhluk awal dari Ciptaan Allah, yang disebutkan melalui firman-Nya, "Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih Kucintai dan lebih Kumuliakan ketimbang dirimu, dan denganmu Aku memberi. denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi pahala dan denganmu Aku menyiksa". Al-hadits. . Huruf-huruf yang terucapkan dalam Basmalah ada 18 huruf. Sedangkan yang tertera dalam tulisan berjumlah 19 huruf. Apabila kalimat-kalimat menjadi terpisah. maka jumlah huruf yang terpisah menjadi 22. Delapan belas huruf mengisyaratkan adanya alam-alam yang dikonotasikannya dengan jumlahnya. 18 ribu alam. Karena huruf Alif merupakan hitungan sempurna yang memuat seluruh struktur jumlah. Alif merupakan induk dari seluruh strata yang tidak lagi ada hitungan setelah Alif. Karena itu dimengerti sebagai induk dari segala induk alam yang disebut sebagai Alam Jabarut, Alam Malakut, Arasy, Kursi, Tujuh Langit., dan empat anasir, serta tiga kelahiran yang masing masing terpisah dalam bagian-bagian tersendiri. . Sedangkan makna sembilan belas, menunjukkan penyertaan Alam Kemanusiaan. Walau pun masuk kategori alam hewani, namun alam insani itu menurut konotasi kemuliaan dan universalitasnya atas seluruh alam dalam bingkai wujud, toh ada alam lain yang memiliki ragam jenis yang prinsip. Ia mempunyai bukti seperti posisi Jibril diantara para Alif yang tersembunyi yang merupakan pelengkap terhadap dua puluh dua huruf ketika dipisah-pisah, merupakan perunjuk pada Alam Ilahi Yang pengertian Dzat. Sifat dan Af 'aal. Yaitu tiga Alam ketika dipisah-pisah, dan Satu Alam ketika dinilai dari hakekatnya. . Sementara tiga huruf yang tertulis menunjukkan adanya manifestasi alam-alam tersebut pada tempat penampilannya yang bersifat agung dan manusiawi. . Dan dalam rangka menutupi Alam Ilahi, ketika Rasulullah saw, ditanya soal Alif yang melekat pada Baa', "dari mana hilangnya Alif itu?" Maka Rasulullah saw, menjawab, "Dicuri oleh Syetan". Diharuskannya memanjangkan huruf Baa'nya Bismillah pada penulisan, sebagai ganti dari Alifnya. Menunjukkan penyembunyian Ketuhanannya predikat Ketuhanan dalam gambaran Rahmat yang tersebar. Sedangkan penampakannya dalam potret manusia, tak akan bisa dikenal kecuali oleh ahlinya. Karenanya, dalam hadist disebutkan;"Manusia diciptakan menurut gambaran Nya". Dzat sendiri tersembunyikan oleh Sifat, dan Sifat tersembunyikan oleh Af'aal. Af'aal tersembunyikan oleh jagad-jagad dan makhluk. Oleh sebab itu, siapa pun yang meraih Tajallinya Af'aal AllahAzza WaJalla dengan sirnanya tirai jagad raya, maka ia akan tawakkal. Sedangkan siapa yang meraih Tajallinya Sifat dengan sirnanya tirai Af'aal, ia akan Ridha dan Pasrah. Dan siapa yang meraih Tajallinya Dzat dengan terbukanya tirai Sifat, ia akan fana dalam ia pun akan meraih Penyatuan Mutlak. Ia berbuat, tapi tidak berbuat. Ia membaca tapi tidak membaca "Bismillahirrahmaanirrahiim". Tauhidnya af'aal mendahului tauhidnya Sifat, dan ia berada di atas Tauhidnya Dzat. Dalam trilogi inilah Nabi saw, bermunajat dalam sujudnya ;"Tuhan, Aku berlindung dengan ampunanmu dari siksaMu, Aku berlindung dengan RidhaMu dari amarah dendamMu, Aku berlindung denganMu dari diriMu" Subhanallah
Dansemua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam Bismillnahirrahmaanirrahiim. Bahkan disebutkan dalam hadits lain,"setiap kandungan yang ada dalam Bismillahirrahmaanirrahiim ada d
The manuscript of Sirr al-Lathīf was Sufism text at early XX century, that proven the existence and dynamic of Sufism thought at Kalimantan, and Nusantara in general. The analysetrhe content of the text, this use Gadamer’s semiphilological hermeneutics analysis. The result of the researchs are firstly, the way verses of the Fatiha are believed in the text to be located in the body organs in human being, has been part of human being, explains that the text is not an interpretation but mystical the Fatiha. Secondly,the elaboration of the prayer sembahyang in the Sirral-Lathīf isunique and couldnpt be found in fiqh schools. He tried to relate the sembahyang as an union of God and slave. And thirdly, elaboration of insānkāmil the perfect man as representation of the perfectman, not different from concepts of script tend to use symbolization toovercomethe limitations ofverbalwordstoreveala Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, and insān kāmil. AbstrakNaskah Sirr al-Lathīf adalah naskah tasawuf pada awal abad XX yang menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan, dan Nusantara pada umumnya. Untuk mengkaji kandungan naskah digunakan teknik semi filologis dengan analisishermeneutika Gadamer. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, ayat-ayat surat alFatihah dipercayai terletak pada organ-organtubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fikih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Kata kunci Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, dan insān kāmil. Figures - uploaded by Sulaiman SulaimanAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Sulaiman SulaimanContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman77AJARAN TASAWUF DALAM NASKAH SIRR AL-LATHĪF The sufi sm teaching in the Sirr Al-LathīfSULAIMANFakultas Ushuluddin IAIN Walisongo SemarangKampus II, Jl. Prof. Dr. Hamka Ngaliyan-SemarangTelp. 024 7601294e-mailalkumayi97 diterima 21 Januari 2014 Naskah direvisi 19-31 Mei 2014Naskah disetujui 18 Juni 2014ABSTRACTThe manuscript of Sirr al-Lathīf was Sufi sm text at early XX century, that proven the existence and dynamic of Sufi sm thought at Kalimantan, and Nusantara in general. The analysetrhe content of the text, this use Gadamer’s semiphilological hermeneutics analysis. The result of the researchs are fi rstly, the way verses of the Fatiha are believed in the text to be located in the body organs in human being, has been part of human being, explains that the text is not an interpretation but mystical the Fatiha. Secondly, the elaboration of the prayer sembahyang in the Sirral-Lathīf isunique and couldnpt be found in fi qh schools. He tried to relate the sembahyang as an union of God and slave. And thirdly, elaboration of insānkāmil the perfect man as representation of the perfect man, not different from concepts of mainstreamsufi .The script tend to use symbolization toovercomethe limitations ofverbalwordstoreveala Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, and insān Sirr al-Lathīf adalah naskah tasawuf pada awal abad XX yang menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan, dan Nusantara pada umumnya. Untuk mengkaji kandungan naskah digunakan teknik semi fi lologis dengan analisis hermeneutika Gadamer. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, ayat-ayat surat al-Fatihah dipercayai terletak pada organ-organ tubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fi kih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Kata kunci Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, dan insān kāmil. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9078PENDAHULUANNaskah tulisan tangan manuscript merupakan salah satu bentuk khazanah budaya, yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat masa lalu. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk peninggalan budaya material non-tulisan di Indonesia, seperti candi, istana, masjid, dan lain-lain, jumlah peninggalan budaya dalam bentuk naskah jelas jauh lebih besar Fathurahman, 2008 17; Ikram, 1997 24. Naskah—yang sejauh ini masih sering diabaikan keberadaannya, dan hanya mendapatkan perhatian dari kelompok orang tertentu saja, khususnya para fi lolog dan pustakawan—sesungguhnya menyimpan makna dan dimensi yang sangat luas karena merupakan produk dari sebuah tradisi panjang yang melibatkan berbagai sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu Fathurahman, 2008 17. Melalui naskah inilah, kita dapat menguak sejumlah informasi masa lampau mengenai berbagai segi kehidupan keagamaan, termasuk ajaran tasawuf Baried, 1994 11, yang merefl eksikan pemikiran yang sangat orisinil Hadi WM, 2001 3.Naskah-naskah lama yang berisi ajaran tasawuf tersebut menginformasikan bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam Sedyawati, 2000. Apalagi, diketahui bahwa sejak abad ke-13, bangsa Indonesia telah didatangi oleh para ulama sufi yang dalam proses penyebaran Islam banyak pula menghasilkan berbagai tulisan, yang kini tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang mereka sampaikan kepada masyarakat setempat Fathurahman, 2008 18; Azra, 1994 32. Salah satu naskah yang berisi ajaran tasawuf itu adalah Sirr al-Lathīf karya al-Haj Muhammad Yahya bin al-Haj Muhammad Thahir al-Banjari. Kehadiran naskah ini sekaligus menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan. Deskripsi Naskah Penulis menemukan naskah Sirr al-Lathīf pada 30 Juli 2008, dari seorang guru bernama Dimansyah, di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Menurut pengakuan Dimansyah, naskah ini diperolehnya dari Martapura Kalimantan Selatan. Secara fi sik, naskah ini berbentuk persegi panjang dan berwarna putih. Berbahan dasar dari kertas dengan ukuran 16 cm x 21 cm. Teks ditulis tangan dengan memakai tinta dawat biasa dikenal sebagai tinta Cina warna hitam dan menggunakan huruf Arab Melayu Jawi, dengan tebal 52 halaman. Di bagian sampul tertera nama penulis naskah, dan penyelesaian penulisannya pada tahun 1913. Naskah ini kemudian disalin oleh Bahrun bin Muhammad Dhaman, yang diselesaikannya pada 18 Rabi al-Awwal 1402 H/3 Januari 1983. Di bagian pendahuluan tertulis sebagai berikut“Bism Allāh al-Rahmān al-Rahīm. Inilah Kitāb Risālah Sirr al-Lathīf, pasuratan al-Haj Yahya bin al-Marhum al-Haj Muhammad Thahir Banjari yang disurat oleh beliau dalam bentuk pasuratan pada tahun 1913 M. Disalin dari Kitab aslinya kepunyaan cunda Hatta Jiddin bin Yahya. Tabuh Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan yang menyalin faqīr lagi haqīr Allāh Bahun bin Muhammad Dhaman. 18 Rabi al-Awwal 1402 H/3 Januari 1983.”Selain itu, dijelaskan pula alasan penulisan naskah. “....setelah menukil dari beberapa persuratan yang hampir-hampir sudah lanyap karena kurang gamarnya para saudara-saudaraku kaum Muslimin muslimat mempelajarinya. Selain daripada itu sesudah hamba mempelajarinya kepada guru kami yaitu Abdul Karim al-Hadi mulanya hal-hal hakikat dan marifat, maka hamba buatlah kesimpulan sebagaimana termuat dalam risalah ini yang kami namai Sirr al-Lathīf yakni risalah rahasia yang halus-halus. Harapan hamba semoga bermanfaat bagi ahlinya yang gemar mempelajari jalan syariat dan marifat.” Dengan menganalisis kata-kata “maka hamba buatlah kesimpulan” dari pernyataan di atas, dapat dipastikan bahwa naskah ini memang Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman79merupakan ringkasan dari beberapa kitab yang dibaca oleh penulisnya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam uraiannya penulis sering kali menggunakan kata-kata yang ringkas dan kadang-kadang menggunakan simbol-simbol, sehingga perlu interpretasi agar dipahami maksud yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana dikatakan oleh penulisnya, naskah ini ditujukan kepada mereka yang “gemar”; maka yang dimaksud di sini adalah mereka yang berkemampuan khusus dalam jalan spiritual tasawuf. Bisa diduga bahwa mereka yang mempelajari naskah ini memang mereka yang sudah menjalankan syariat dengan benar, dan kemudian melanjutkan pencarian spiritual untuk menemukan hakikat diri dan Tuhan; atau mereka yang sudah mempunyai pemahaman yang baik tentang tasawuf dan sudah mempraktikkannya sehingga ajaran yang terkandung di dalamnya akan dengan mudah dipahami dan dijalankan. Penulis mencantumkan sejumlah nama yang menjadi rujukan dalam penyusunan naskahnya. Mereka adalah 1 Haji Muhammad Arsyad Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, 2 Haji Abdul Hamid Syekh Abdul Hamid Abulung, 3 Haji Muhammadullah, 4 Haji Abdul Ghafur, 5 Tuan Syarif Karim, yang telah mutamad-kan dengan Imam Syafi i rahmatullah dimusyawarahkan bersama dengan sebagaimana tercantum namanya di bawah ini Syekh Abdullah, Syekh Alassalam, Imam Ibnu Hajar, Imam Rahmadi, Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Syafi i, Imam Subaqti, Imam Asyari, Imam Zurkani, Haji Muhammad Nur, dan Haji Jamal penghulu di Tenggarong pada tahun 1902. Tampaknya dengan memaparkan sejumlah nama tokoh—yang sebagian merupakan ulama-ulama yang sudah dikenal di dunia Islam—penulis ingin menegaskan bahwa ajaran yang terkandung dalam naskahnya ini bukanlah karangannya, melainkan bersumber dari para ulama otoritatif tersebut. Sistematika penulisan ajaran tasawuf dalam naskah ini dibagi dalam empat bagian; bagian pertama terdiri dari cover, kata pengantar, dan menguraikan tentang penjelasan mistis empat surah pokok QS. al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas h. 1-5; bagian kedua membahas tentang Nur Muhammad dan hakikat sembahyang. Di bagian ini uraiannya singkat dan penuh dengan gambar-gambar simbolik h. 6-11; bagian ketiga membahas tentang rahasia zikir h. 12-14; dan bagian keempat membahas tentang amal marifat yang di dalamnya berisi tentang hakikat diri dan Tuhan serta hubungan hamba dengan Tuhan, dan kemudian ditutup dengan uraian tentang al-haqīqah Muhamadiyah insān kāmil. Kajian terhadap naskah-naskah dengan tema sejenis dengan naskah Sirr al-Lathīf dapat dijumpai dari beberapa penelitian sebelumnya, antara lain Nurbini 1999 yang meneliti naskah Ajaran Ma’rifatullah Panglima Utar; lalu disusul oleh Sulaiman 2001 dengan naskah yang sama namun dengan analisis yang lebih mendalam. Dari segi isinya naskah Panglima Utar ini berbeda jauh dengan naskah Sirr al-Lathīf. Karena itu, kajian terhadap kandungan naskah ini memang perlu dilakukan sehingga terkuak ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. METODE PENELITIANMembaca Naskah Sirr al-LathīfDalam penelitian ini, peneliti menggunakan naskah tunggal, yakni Sirr al-Lathīf dengan meminjam teknik semi fi lologis. Merujuk pendapat Prof. Dr. Mudjahirin Thohir 2013, naskah ini haruslah dipahami sebagai sebuah produk budaya yang di dalamnya penuh dengan makna-makna simbolik yang perlu ditafsirkan untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan ini, ketika tahapan dalam fi lologi itu terlampaui, atau zaman telah berubah, serta perhatian para fi lolog telah berkembang jauh, maka ilmu fi lologi juga diarahkan kepada bagaimana memahami isi naskah itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, maka untuk memahami kandungan-kandungan teks dibutuhkan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti linguistik, sastra, sosiologi, antropologi, semiotika, dan lain-lain. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9080Dalam menangani naskah Sirr al-Lathīf ini, peneliti mengikuti saran Nabilah Lubis 1996 88-89. Nabilah Lubis menyarankan dalam menangani naskah tunggal, peneliti yang ingin mengedit naskah memiliki dua pilihan, yaitu mengadakan edisi diplomatik atau edisi standar. Edisi diplomatik ialah suatu cara mereproduksi teks sebagaimana adanya tanpa ada perbaikan atau perubahan dari editor. Model yang paling sesuai dengan ini adalah naskah direproduksi secara fotografi s. Hal ini penting, jika peneliti ingin menampilkan teks yang diperoleh persis sebagaimana adanya. Tetapi bagi pembaca modern, metode ini tidak memberikan informasi yang membantu dalam upaya memahami teks tersebut. Sedangkan dalam edisi standar, ada suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penulisan. Tujuannya ialah untuk menghasilkan suatu edisi yang baru dan sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya, dengan mengadakan pembagian alenia-alenia, pungtuasi, huruf besar dan kecil, membuat penafsiran interpretation setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca modern. Sungguh pun demikian yang harus diingat bahwa editor harus bertanggung jawab terhadap semua perbaikan atau penafsiran yang diadakan, dan harus menyebut sumbernya; apakah berdasarkan kaedah gramatika, atau fakta sejarah, dan sebagainya. Berdasarkan saran Nabilah Lubis tersebut, pe-nelitian ini memilih edisi standar yang memung-kinkan peneliti untuk melakukan penafsiran terh-adap isi naskah Sirr al-Lathīf. Untuk melakukan penafsiran, peneliti merujuk pendapat Jacques Derrida. Dengan merujuk Derrida ini, naskah Sirr al-Lathīf diposisikan bukan bentuk artefak yang mati. Teks diposisikan sebagai sebuah proses yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Teks yang terhenti pada sebuah pemaknaan tidak akan terbuka dan berkembang, karena ada kekuatan yang ada dalam sebuah teks, yaitu teks mempu-nyai watak yang terbuka dan jalin-menjalin, ter-hubung dengan teks-teks lain intertektualitas dan selalu berproses. Dari proses tanpa akhir dan tanpa tujuan inilah teleology dipahami sebagai teks yang mengarah ke depan yang tak terbatas dan tak mungkin untuk direalisasikan sepenuh-nya sekarang ini; teks yang bergerak dalam lin-tasan struktur yang terbuka pada masa depan dan menolak dihadirkan pada masa kini in prasen-tia; teks yang menunda dan mendeferensiasi ke-hadiran Al-Fayyad, 2005 68. Teknik analisis teks yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan analisis hermeneutik, yakni “studi pemahaman” atau “teori tentang fi lsafat interpretasi makna” Wollf, 1991 188. Menurut Hans-Georg Gadamer, maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Teks bersifat otonom, teks mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari penulis dan pembacanya Baried, 1994 20. Interpretasi teks itu oleh seorang pembaca tidak dapat tidak berarti pemberian makna sesuai dengan situasi si pembaca. Interpretasi teks selalu merupakan Horizontverschnelzung atau pembauran cakrawala Wollf, 1991 189, yakni dalam proses pemahaman oleh seorang pembaca berlangsung pembauran cakrawala, perpaduan antara cakrawala masa lampau saat teks itu tercipta dan cakrawala masa kini si pembaca Teeuw, 1984 174. Berkaitan dengan ini, untuk menggali isi teks diperlukan interpretasi. Menurut Gadamer, interpretasi, selalu merupakan interpretasi sirkuler. Manusia hanya dapat memahami masa lalu, teks, orang lain dari pusat pandangan manusia itu dan dari sejarahnya sendiri. Interpretasi selalu bersifat perspektival karena interpretasi selalu dibatasi oleh horison atau cakrawala peneliti yang hidup pada saat sekarang. Interpretasi tidak akan pernah sampai pada interpretasi yang menyeluruh, karena perhatian peneliti hanya diarahkan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan interest kontemporer si peneliti. Hasil maksimal dari interpretasi adalah fusion of horizons atau bertemunya cakrawala masa lalu ketika teks diciptakan dan masa kini saat teks ditafsirkan Wollf, 1991 189. Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman81Berdasarkan kerangka teoritis hermeneu-tik Gadamer, maka dapat ditetapkan kerangka penafsiran naskah Sirr al-Lathīf sebagai berikut Pertama, dilakukan transliterasi naskah Sirr al-Lathīf dari huruf Arab ke huruf Latin dan alih bahasa dari teks berbahasa Melayu ke teks ber-bahasa Indonesia. Alih bahasa teks ini penting karena bahasa merupakan jembatan pengalaman hermeneutik dan interpretasi. Kedua, upaya un-tuk membangun pra-anggapan prejudice adalah dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan subject matter penelitian ini. Ketiga, interpretasi dapat terjadi apabila ber-langsung fusion of horizons. Upaya untuk menca-pai hal itu adalah dengan cara membandingkan pokok-pokok pemikiran dalam naskah Sirr al-Lathīf dengan karya penulis lain yang memba-has pokok-pokok pemikiran sejenis dan mewakili cakrawala pemikiran saat ini. Melalui cara seperti ini, akan terjadi pembauran cakrawala pemikiran pada masa ketika naskah Sirr al-Lathīf diciptakan dan cakrawala pemikiran pada masa teks ini di-tafsirkan sehingga dapat dirumuskan suatu rele-vansi kandungan nilai-nilai budaya dalam naskah tersebut dengan tata kehidupan sosial masyarakat dewasa ini setting. Untuk itu perlu ada pengeta-huan tentang setting NaskahSosok pengarang Sirr al-Lathīf memang tidak terungkap. Satu-satunya petunjuk yang dapat membantu adalah mengenai tempat dan tanggal penulisan naskah. Tempatnya adalah Tabuh, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan; sedangkan penanggalannya juga jelas, penulis menyelesaikannya pada tahun 1913, kemudian naskah tersebut disalin oleh cucunya dan selesai pada tahun 1983. Dengan merujuk keadaan ini dapat diperkirakan bahwa pemikiran tasawuf yang terdapat di dalam naskah ini sangat dipengaruhi oleh dinamika pemikiran yang terjadi di Kalimantan Selatan pada saat itu, dan Nusantara di awal abad Selatan sebagai bagian dari tradisi budaya Melayu memiliki kekayaan naskah yang tidak sedikit, dan keberadaannya memiliki kaitan yang erat dengan persebaran dan pengaruh ajaran Islam abad XIV M. Abad ini jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar dengan raja pertamanya Sultan Suriansyah. Hal tersebut karena ada dua abad sebelum Kerajaan Banjar berdiri di sekitar Kuwin sudah terdapat pemukiman penduduk yang beragama Islam. Barangkali kelompok penduduk yang dikenal sebagai Oloh Masih atau Orang Melayu yang tinggal di sekitar Kuwin telah mengenal agama Islam, atau mungkin sudah beragama Islam Masfi ah, 2009 3.Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan lebih meluas setelah berdirinya Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang memeluk Islam sekitar abad XVII. Bantuan dari Kerajaan Islam Demak dan hubungan Islam dengan pantai utara Jawa Timur, Gresik, Tuban, dan Surabaya mempercepat proses penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Pada abad XVII ini pula dalam wilayah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang di Aceh. Kegiatan para ulama dan para juru dakwah dari Kerajaan Aceh telah merambah ke mana-mana termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar, di samping Sumatra sendiri dan Malaysia. Kedudukan Kerajaan Aceh juga menentukan, karena Aceh merupakan terminal bagi jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci atau bagi mereka yang kembali ke Tanah Air. Sebelum munculnya kapal api, para jamaah haji atau para pelajar yang akan belajar ke Tanah Suci, berdiam di Aceh beberapa lama menunggu angin baik untuk melanjutkan pelayaran, begitu pula bagi mereka yang akan pulang ke Tanah Air, khususnya daerah bagian timur dari kepulauan Nusantara berada di Aceh, mereka mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan atau mengikuti pengajian-pengajian, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pemikiran mereka. Perkembangan pemikiran keagamaan yang sudah mendapat pengaruh Aceh, mengalami beberapa tahap pekembangan, yaitu a paham dasar keagamaan yang mewarnai pemikiran Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9082keagamaan di dalam Kerajaan Banjar adalah yang berasal dari Jawa, yaitu Demak atau Giri yang hanya menyangkut prinsip-prinsip dasar sesuai dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dalam akidah dan paham Syafi iyah dalam bidang hukum, serta tasawuf akhlak. Di sini tidak terlihat tanda-tanda bahwa ajaran kejawen turut masuk ke wilayah Kerajaan Banjar; b. Paham mistik/sufi sme yang berasal dari Hamzah Fansuri sudah memasuki praktik keagamaan di dalam Kerajaan Banjar beberapa saat setelah penduduk memeluk agama Islam dan sudah ada yang berangkat ke Aceh dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Paham ini tampaknya dominan sebagaimana terlihat pada Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari yang ternyata sudah menggeluti persoalan tentang kejadian Nur Muhammad, salah satu prinsip dasar sari ajaran tasawuf wahdah al-wujud; dan c sebagai reaksi yang muncul di Aceh yaitu berkembangnya faham sufi sme dari Hamzah Fansuri, maka kelompok pemikiran Nuruddin al-Raniri yang menentangnya juga mendapat simpati dari rakyat Kerajaan Banjar Masfi ah, 2009 4-5; Abdurrahman, 1989.Pada abad ke-17 ini pula terdapat peristiwa yang menandai adanya hubungan yang harmonis antara Aceh dan Banjar. Pada waktu itu seorang yang hidup dalam Kerajaan Banjar di Martapura telah menyusun sebuah kitab ilmu tasawuf tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi ajaran Ibn Arabi, aliran wahdah al-wujud. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-17 wilayah Kerajaan Banjar sudah menunjukkan berkembangnya aliran tasawuf secara dominan sampai melahirkan seorang ulama terkemuka di bidang tersebut dan mampu mengarang sebuah kitab yang cukup berat. Kitab tasawuf tersebut dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh Masfi ah, 2009 5.Merujuk penelitian Winstedt menyebutkan bahwa pembicaraan tentang Nur Muhammad telah dibahas oleh seorang ulama Banjar, Syamsuddin, yang menyelesaikan tulisannya pada tahun 1688 dan menghadiahkannya kepada Sultan Tajul Alam Syafi atuddin yang memerintah di Aceh. Meskipun pada masa pemerintahan Sulthanah Seri Tajul Alam Syafi atuddin Johan Berdaulat puteri dari Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1050-1085 H/1641-1675 M, seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran wujudiyah yang berkembang di sana yang semula mendapat banyak tekanan. Maka, dirikimkannya naskah yang ditulis oleh Syamsuddin kepada Kerajaan Aceh khusus untuk Ratu, menunjukkan hubungan timbal balik yang dengan dua kerajaan Banjar dan Aceh. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan-kegiatan ulama Aceh, seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, di satu sisi yang dianggap penyebar wujudiyah, dan Nuruddin al-Raniri di sisi lain yang menentang wujudiyah. Dua kelompok tasawuf ini mempunyai pengaruh yang sangat besar di wilayah Kerajaan Aceh, dan keduanya pun sempat terlibat dalam konfl ik berdarah. Meskipun demikian, pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani sudah masuk ke wilayah Kerajaan Banjar dibuktikan dengan munculnya dua tokoh tasawuf penting Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari abad XVII dan Syekh Abdul Hamid Abulung abad XVIII Zamzam, 1979; Suriadi, 1998 dan 2007. Setelah masa Syekh Ahmad Syamsuddin, muncullah tokoh ulama sufi selanjutnya, yaitu Syekh Muhammad Nafi s al-Banjari. Beliau termasyhur dengan karyanya al-Durr al-Nafi s Bayan Wahdat al-Afal wa al-Asma’ wa al-Shifat wa al-Zat al-Taqdis. Syekh Nafi s dilahirkan pada 1148 H/1735 M di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar. Ia hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Azra, 1994 255. Disusul tokoh sufi lainnya, Syekh Abdul Hamid Abulung. Hingga saat ini tidak diketahui tanggal kelahirannya, tetapi ia sezaman dengan Syekh Nafi s dan Syekh Arsyad. Syekh Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang dikenal dengan ajaran Ilmu Sabuku. Pemikiran tasawufnya tentang Tuhan dan manusia lebih mengarah kepada wahdah al-wujud-nya Ibnu Arabi, bukan pada pemikiran tasawuf al-Ghazali Sahriansyah, 2009. Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman83Pemikirann ketiga tokoh sufi Syekh Syamsuddin, Syekh Abdul Hamid, dan Syekh Nafi s, telah membuktikan adanya keragaman corak pemikiran tasawuf di Kalimantan Selatan yang seakan-akan “mondar-mandir” antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni. Syekh Syamsuddin dan Syekh Abdul Hamid mengusung corak pemikiran tasawuf falsafi , sedangkan Syekh Nafi s mengedepankan pemikiran tasawuf sunni. Meskipun sesungguhnya Syekh Nafi s juga cenderung ke tasawuf falsafi .Dalam sejarah pemikiran tasawuf di Kalimantan Selatan memang sudah ada upaya “penjinakan” terhadap tasawuf falsafi model Syekh Abdul Hamid pada masa Syekh Arsyad pada abad ke-18, yang kemudian memunculkan apa yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai neo-sufi sme di Kalimantan Selatan yang memiliki perhatian tinggi terhadap syariah Azra, 1994 266. Menurut Rahmadi, pada abad ke-19, corak pemikiran Islam hampir sepenuhnya diwarnai oleh ajarah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Kecenderungan ini kemudian diperkokoh pada masa berikutnya, di mana sejumlah referensi dan produk pemikiran yang bermunculan pada abad ke-20 digunakan untuk terus memperkokoh corak tersebut dan mempertahankannya sebagai arus utama pemikiran Islam di Kalimantan Selatan Rahmadi, 2012 1. Namun, pada abad ke-20 juga gelombang pembaruan yang melanda wilayah ini menjadi ujian berat terhadap pemikiran arus utama mainstream ketika para “kaum muda” bermunculan dan organisasi keagamaan berhaluan reformis mulai menggugat corak pemikiran Islam yang sudah mapan. Gugatan ini tentu saja mendapat perlawanan dari para ulama Banjar arus utama’ sehingga terjadilah polemik pemikiran di kalangan mereka. Beberapa literatur keagamaan yang ditulis oleh ulama Banjar yang muncul sepanjang abad ke-20 bahkan pada awal abad ke-21 merupakan wujud nyata dari “perlawanan” terhadap gugatan itu Rahmadi, 2012 1-2.Khusus di abad ke-20, sufi sme al-Ghazali tampak lebih dominan di Kalimanta Selatan sehingga muncul kesan bahwa tasawuf falsafi sudah ditinggalkan. Padahal anggapan ini tidak semuanya benar, karena bersamaan dengan gerakan pen-sunni-an tasawuf, tasawuf falsafi juga tetap melakukan gerakan yang sama meskipun dilakukan secara diam-diam dan cenderung bergeser ke tempat-tempat yang jauh dari pusat kekuasaan, terutama pedalaman Kalimantan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya naskah Sirr al-Lathīf ini. Dengan mengetahui setting yang meling-kari lahirnya naskah Sirr al-Lathīf di atas akan diketahui sebab-sebab pemikiran yang ada di da-lamnya dan kemudian mencoba “membaca” dan menganalisisnya agar diketahui kandungannya. Dalam artikel ini, kami akan memaparkan kan-dungan naskah dengan bertumpu pada tiga per-tanyaan penelitian 1 bagaimanakah konstruk mistisisasi surah al-Fatihah dalam naskah terse-but?; 2 bagaimanakah relasi puji memuji Tuhan dan hamba yang dilambangkan dalam sembahy-ang?; dan 3 bagaimanakah deskripsi tentang manusia sempurna insān kāmil?HASIL DAN PEMBAHASANKonstruk Mistisisasi surat al-Fatihah Built in Dalam TubuhSurat al-Fatihah dalam naskah Sirr al-Lathīf ditempatkan di bagian awal setelah halaman sampul. Penempatan ini tentunya ada maksud-maksud tertentu, misalnya, untuk menyatakan bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan al-Fatihah, atau mungkin juga ada pemahaman bahwa al-Fatihah itu adalah induk segala surat. Berkaitan dengan surat ini, penjelasan yang diberikan memang bukanlah merupakan sebuah tafsir sebagaimana lazimnya, tetapi cenderung mengarah pada pemahaman mistik dan berujung pada pengalaman mistik. Dengan kata lain, penjelasan surat ini lebih tepat dipandang sebagai ekspresi dari pengalaman mistik seorang sufi . Inilah yang disebut mistisisasi surat Schimmel 1975 membagi pe-ngalaman mistik itu menjadi dua jenis yaitu yang berupa mistisisme ketakterhinggaan mysticism of Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9084Infi nity dan mistisisme kepribadian mysticism of Personality. Pengalaman pertama dapat dijumpai pada model ajaran Plotinus atau Upanishad dan dalam Islam dapat kita temui pada ajaran Ibn Arabi. Pengalaman ini kerap digambarkan sebagai lautan tak bertepi dimana manusia diibaratkan sebagai tetesan air yang tenggelam di dalamnya. Kerap juga digunakan perumpamaan bagai gurun luas dimana manusia ibarat debu di dalamnya. Bentuk pengalaman semacam ini kerap menuju pada suatu paham yang biasa mendapat sebutan pantheisme atau monisme yang kerap mendapat serangan akibat hancurnya pertanggungjawaban individu pada pemahaman seperti itu. Bentuk pengalaman kedua dapat dijumpai pada banyak sufi dimana hubu-ngan antara manusia dengan Tuhan digambarkan sebagai hubungan antara ciptaan dengan Penciptanya, hubungan antara budak dengan Tuannya dan antara pecinta dengan yang puncak pengalaman mistiknya, para sufi sering mengalami situasi yang mereka percaya pada saat itu mereka sedang berjumpa dengan Tuhan. Ungkapan-ungkapan yang tak lazim kadang keluar pada saat puncak pengalaman tersebut. Suatu keadaan yang kerap disebut sebagai keadaan syath. Meskipun mengundang banyak hujatan, para sufi dapat mencari pembenaran dengan menyandarkan pada pengalaman Nabi dalam mengungkapkan hadis qudsi sebagai pengalaman serupa dengan shath tersebut Ernst, 2003 29. Ekspresi ekstase shath tersebut merupakan salah satu kunci penting dalam memahami ajaran sufi sme. Bagi mereka yang mendukung, syatiyat dianggap sebagai jalan memahami wahyu Tuhan sedangkan bagi mereka yang menolak menganggap hal itu sebagai parodi kitab suci yang mengumpat dari penjelasan di atas, maka dipahami jika ayat-ayat al-Fatihah ditempatkan di bagian-bagian tubuh tertentu, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut Letak Ayat-ayat dalam Surat Al-Fatihah pada Bagian-bagian Tubuh TertentuAYAT LETAKNYA DALAM TUBUHBism Allāh ar-Rahmān ar-Rahīmotak/ruhal-Hamdu li Allāhmuka rabb al-ālamīntelinga kananar-Rahmāntelinga kiriAr-Rahīmtangan kanan dan kirimālik yawm ad-dīnbelakang iyyāka na’budu Leherwa iyyāka nasta’īnDadaihdinā ash-shirāth al-mustaqīmurat dan lidahshirāth al-ladzīna Pusatan’amta alaihim kaki kanan dan kirigair al-maghdūbi Empedualaihim Kurawalā adh-dhāllīnHatiāmīnJantungDengan pemahaman tersebut, surat ini sudah ada di dalam built in diri manusia. Di tingkat lokal memang muncul kata-kata “al-Fatihah da-lam diri”, yang merefl eksikan pemahaman kog-nisi masyarakat lokal bahwa surah ini sudah ter-tanam dalam diri manusia, dan karenanya kewa-jiban bagi manusia untuk mengetahui dan meng-hayatinya. Dengan demikian, Yahya tidak berbi-cara tentang penafsiran surat al-Fatihah, tetapi ia berbicara tentang mistisasi surat tersebut. Selain ayat-ayat al-Fatihah yang terletak di bagian tubuh tertentu, di Kalimantan ditemukan juga kepercayaan huruf-huruf hijaiyah terletak di bagian-bagian tubuh tertentu. Kepercayaan ini dikenal dengan sebutan Ilmu Alif. Dipercayai bahwa manusia di alam akhirat akan wujud dalam berbagai keadaan. Supaya badan manusia berwujud seperti keadaannya di dunia, maka diamalkanlah Ilmu Alif tersebut. Ilmu ini diamalkan setiap salat. Jika seseorang tidak mengingatnya, maka ia akan kehilangan anggota tubuh di akhirat. Alif antara dua keningku baitullah di badanku; Bā kening kananku; Tā kening kiriku; Tsā dahiku; Jīm ubun-ubunku pintu Ka’bah di badanku; Hā bahu kananku; Khā bahu kiriku; Dāl kaki kananku; dzāl kaki kiriku; Rā rusuk kananku; Zai rusuk kiriku; Sīn susu kananku; Syīn susu kiriku; Shād Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman85telinga kananku; Dhād telinga kiriku; Thā mata kananku; Zhā mata kiriku; ain tangan kananku; Ghīn tangan kiriku; Fā pinggang kananku; Qāf pinggang kiriku; Kāf belakang kananku; Lām belakang kiriku; Mīm mukaku; Nūn otakku; Wawu pusatku, batu bergantung di badanku; Hā hatiku Ka’bah di badanku; Lām alif sulbiku arsy dan kursi di badanku; Hamzah jantungku; Yā nyawaku utama Muhammad rahasia Allah di badanku Hermansyah, 2010 119.Kembali kepada Naskah Sirr al-Lathīf. Dengan mistisisasi surat al-Fatihah seperti disebutkan di atas, Yahya juga menambahkan penjelasannya bahwa saat membaca surah ini dalam sembahyang berarti memuji diri sendiri. Karena itu, tegas Yahya“Jadi kita berdiri sembahyang itu membaca al-Fatihah adalah sebenarnya memuji diri sendiri. Apabila tidak sembahyang berarti orang itu durhaka kepada ibu bapaknya, kepada Nabinya, kepada Datu Adam. Alamat neraka yang akan didapat.” Sirr al-Lathīf 2.Mereka yang mendirikan sembahyang dengan membaca surah al-Fatihah, maka pada esensinya ia sedang mengenal dirinya sendiri yang berarti akan mengenal Tuhannya sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis terkenal “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” “barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya”. Hadis ini difahami oleh para sufi sebagai bagian yang sangat penting al-Kurdī, 1995 483. Menurut Seyyed Hossen Nasr 2007 5, pengetahuan diri akan mengantarkan pada pengetahuan tentang Tuhan. Tasawuf memandang serius hadis ini dan juga menempatkannya ke dalam amalan. Ia memberikan, di dalam semesta spiritual tradisi Islam, cahaya yang diperlukan untuk menerangi sudut gelap jiwa kita dan kunci untuk membuka pintu ke relung-relung tersembunyi dari wujud kita sehingga kita bisa berziarah ke dalam diri dan mengenal diri kita sendiri, dan pengetahuan ini pada akhirnya mengantarkan kepada pengetahuan tentang Tuhan, yang bersemayam di jantung/pusat/diri hanya kita ini diciptakan oleh Tuhan, akar keberadaan kita di sini dan pada saat ini pun ada di dalam Dia. Ketika kita bersaksi akan Ketuhanan-Nya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat al-Quran, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” QS. al-A’raf [7] 172, dunia dan segala yang ada di dalamnya masih belum dicipta. Bahkan sekarang kita memiliki keberadaan pra-abadi kita di Hadirat Ilahi, dan kita telah membuat perjanjian kekal dengan Tuhan, yang tetap mengikat melampaui kesementaraan kehidupan duniawi kita dan di luar bidang ruang dan waktu tempat kita sekarang menemukan diri kita sendiri Nasr, 2007 5. Selain mengenal diri sendiri’ tersebut, Yahya juga menyatakan bahwa dalam surah al-Fatihah ini, Allah membuka rahasia-Nya kepada hamba-Nya, yaitu Muhammad Atas dasar ini, Yahya mengatakan bahwa antara Allah dan Muhammad itu tidak bercerai. Hal ini dinyatakan di bagian akhir ulasannya terhadap surah al-Fatihah “Ya Muhammad, jika tiada engkau tiada rahasia-Ku dan sekalian umatmu” Sirr al-Lathīf 4 Maksudnya, kalau tidak ada Muhammad niscaya Allah tidak akan pernah membuka rahasia-Nya kepada siapa pun. Rahasia-Nya tetap Dia sembunyikan untuk selama-lamanya Sells, 2004 31. Dari paparan di atas, tampak sekali Yahya memahami al-Fatihah dalam konteks mistik bukan berdasarkan penafsiran sebagaimana lazimnya. Dengan cara baca seperti ini, dapat dipahami jika surah tersebut dijelaskan dengan “menyalahi” metode penafsiran yang sudah mapan dalam studi al-Qur’an. Tentu saja tidak adil jika yang dilakukan Yahya di atas sebagai sebuah tindakan “pelecehan” terhadap al-Qur’an. Ia tidak melecehkan al-Qur’an, tetapi ia memahami Kitab Suci ini dengan cara yang mistik, yakni dengan memahami dimensi-dimensi batin dari fi rman-fi rman Allah itu. Puji-Memuji Tuhan dan Hamba Sembahyang Bagian lain yang diuraikan dalam naskah Sirr al-Lathīf adalah “puji memuji antara Tuhan dan hamba” dalam sembahyang, yang digambarkannya dengan al-Hamdu. Dalam al-Hamdu ini terjadi hubungan timbal balik Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9086pengabdian seorang Nabi kekasih Allah, dan pelakunya umat Nabi Muhammad pun akan merasakan hal yang sama sebagaimana dirasakan oleh Nabi. Pencapaian Manusia Sempurna Insān KāmilBagian akhir dari kandungan naskah Sirr al-Lathīf adalah konsep insān kāmil manusia sempurna. Yang dimaksud insān kāmil adalah manusia yang telah memiliki dalam dirinya hakikat Muhammad, atau disebut juga nur Muhammad atau ruh Muhammad yang merupakan makhluk yang mula-mula dijadikan Allah, dan juga sebagai sebab bagi diciptakannya alam ini. Beberapa hadis yang mendukung ajaran ini, antara lain 1 “Pertama-pertama dijadikan Allah Taala cahayaku, dan pada riwayat lain, ruhku.” ar-Raniri, 1961 147; 2 “Adalah aku Nabi, dan Adam antara air dan tanah.” ar-Raniri, tth 115; 3 Aku dari Allah dan alam dariku.”; ar-Raniri, tth 159; dan 4 “Jikalau tiada engkau, ya Muhammad, niscaya tiada kujadikan segala alam ini.” ar-Raniri, tth 125-126.Jalāl ad-Dīn Rūmī dalam sebuah syairnya juga menyatakan alasan Tuhan menciptakan alam semesta ini karena Nabi Muhammad. Rūmī menyatakanTuhan tidaklah mencipta di bumi atau di langit yang tinggi sesuatu yang lebih gaib daripada ruh telah menyingkapkan rahasia segala sesuatu, baik yang basah maupun yang kering, namun Dia menutup rahasia ruh “ia masuk urusan Tuhanku.”Karena penglihatan Saksi yang mulia melihat ruh itu, maka sia-sialah tetap bersembunyi yang disebut “Yang Maha Adil”, dan Saksi itu milik-Nya Saksi yang adil itu adalah mata Sang Pandangan Tuhan di kedua dunia adalah kesucian hati tatapan Sang Raja tertuju pada orang yang cinta kasih-Nya yang bermain-main dengan kekasih-Nya adalah sumber dari seluruh tabir yang telah Dia karena itu Tuhan kita Yang Maha Pengasih saling memuji antara Tuhan dan hamba. Yahya menyatakan bahwa sembahyang lima waktu keluar dari al-Hamdu, dan al-Hamdu itu adalah kepala al-Qur’an. Kemudian dijelaskan lebih lanjut tentang hubungan sembahyang lima waktu dengan sembahyang zhuhur itu keluar dari alif, empat rakaat yaitu dua telinga dan dua mata, keluar dari cahaya manikam yang kuning; adapun hurufnya cahayanya yaitu paru-paru pada kita. Adapun sembahyang ashar itu keluar dari lam, empat rakaat yaitu dua tangan dan dua kaki; keluar dari cahaya manikam yang merah; hurufnya cahayanya yaitu jantung pada kita. Adapun sembahyang maghrib itu keluar dari ha tiga rakaat, dua lubang hidung dan satu tulang mulut, keluar dari cahaya manikam yang hijau, hurufnya cahayanya yaitu empedu pada kita. Adapun sembahyang isya itu keluar dari huruf mim, empat rakaat, dua susu, satu pusat, dan satu sulbi, keluar dari cahya manikam yang hitam; adapun huruf cahayanya limpa pada kita. Adapun sembahyang subuh itu keluar dari huruf dal, dua rakaat, satu tubuh dan satu nyawa ruh dan jasad, keluar dari cahaya manikam yang putih; adapun huruf cahayanya yaitu hati pada kita Sirr al-Lathīf 7-8.Selanjutnya Yahya menambahkan uraiannya berkaitan gerakan postur sembahyang yang berkaitan dengan Ahmad. Berdiri tegak keluar dari alif ﺍ yang melambangkan sifat api. Ruku keluar dari ha ﺡ melambangkan sifat angin. Sujud keluar dari mim ﻡ yang melambangkan sifat air. Duduk antara dua sujud keluar dari dal ﺩ yang melambangkan sifat tanah. Jadi, yang dinamakan sembahyang itu adalah Ahmad yang representasikan oleh tubuh kasar, yang menyampaikan sembahyang adalah Nur Muhammad, sedangkan yang dituju sembahyang adalah Allāh al-Shamad Sirr al-Lathīf 8. Melalui uraiannya ini, Yahya ingin menegaskan bahwa secara lahiriah sembahyang yang dilaksanakan itu adalah Ahmad, dan Ahmad itu adalah nama lain untuk Nabi Muhammad saw. Mungkin yang dimaksud di sini adalah sembahyang itu hendaknya mengikuti Nabi Muhammad termasuk gerakan, perkataan, dan kekhusyuan beliau saat melaksanakan sembahyang. Di sini, sembahyang itu pada hakikatnya merupakan manifestasi dari ϣ Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman87berfi rman kepada Nabi pada malam miraj “Kalau bukan karena engkau niscaya tidaklah Kuciptakan alam.” Dikutip dari Nicholson, 2002. 104.Uraian di atas menyatakan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad atau nur Muhammad telah dijadikan sebelum alam ini, sebelum adanya dalam bentuk seorang Nabi insani. Nur tersebut qadim lagi azali. Nur Muhammad inilah yang selalu berpindah dari generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan lain-lain, kemudian dalam bentuk Nabi penutup, Muhammad saw. Selanjutnya, ia berpindah kepada para imam, dalam kalangan Syiah Imamiyah, dan berakhir pada Imam Mahdi. Di kalangan para sufi , nur tersebut berpindah kepada para wali dan berakhir pada wali penutup khatam auliyā, yakni Nabi Isa yang akan turun pada akhir zaman al-Jīlī, 1975 84.Nur atau ruh Muhammad, dalam tasawuf Ibn Arabi, adalah merupakan wadah tajalli Ilahi yang paling sempurna, dan karena itu ia dipandang sebagai khalifah Ilahi atau Insān Kāmil dalam arti yang paling khas. Ketika bagian-bagian tertentu dari alam ini merupakan wadah tajalli dan sebagian tertentu dari asma dan sifat Allah, maka Insan Kamil itu merupakan satu-satunya wadah tajalli bagi ism al-Jalālah, yakni Allah, yang dipandang sebagai pengikat semua nama dan dari itu, hakikat Muhammad mempunyai dua jalur hubungan hubungannya dengan alam sebagai asas penciptaan dan hubungannya dengan manusia sebagai hakikat manusia. Dari segi hubungannya dengan alam, maka nur Muhammad seperti tersebut dalam hadis, adalah nur yang mula-mula dijadikan Allah dan yang darinya dijadikan alam semesta ini alam jasmani dan alam ruhani. Jadi, nur Muhammad mengandung dalam dirinya apa yang disebut al-ayan al-mumkinah kenyataan yang mungkin, dan dengan fi rman Kun, segala yang berwujud potensial itu beralih kepada wujud aktual dalam bentuk alam empiris ini. Namun, tujuan penciptaan alam belum lagi tercapai, karena alam ini merupakan kaca yang belum terasah, sehingga tidak dapat berperan sebagai cermin bagi Allah untuk melihat kesempurnaan-Nya. Adapun dari segi hubungannya dengan manusia, maka nur Muhammad juga disebut hakikat manusia atau Insān Kāmil. Dalam dirinya mengandung segala hakikat wujud. Karena itu Insān Kāmil merupakan wadah tajalli Allah yang paling lengkap, sehingga dapat berperan sepenuhnya sebagai cermin-Nya untuk melihat diri-Nya dalam wujud yang lengkap dan sempurna Daudy, 1983 185-186.Ajaran yang berasal dari Ibn Arabi ini kemudian dikembangkan Abd al-Karīm al-Jīlī dalam sebuah karya pentingnya, al-Insān al-Kāmil fī Marifah al-Awākhir wa al-Awaāil. Ajaran ini kemudian dikembangkan oleh para sufi di Aceh lewat Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dari Aceh, ajaran insān kāmil masuk ke Kalimantan lewat dua tokoh utamanya, Syaikh Muhammad Nafīs al-Banjarī dan Syaikh Abdul Hamid Abulung Mansur, 1990. Dari Kalimantan Selatan, ajaran insān kāmil kemudian masuk ke seluruh wilayah Kalimantan Sulaiman, 2001. Insān Kāmil dalam naskah Sirr al-Lathīf dinyatakan bahwa ia ada dalam sosok Nabi Muhammad yang dilukiskan dalam sebuah simbolisme huruf. Simbolisme huruf tidak sekedar seni menulis, tetapi di balik itu semua ada pesan-pesan mistik yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana diingatkan oleh Littlejohn 1989 134 bahwa tindakan personal atau teks sebenarnya mengandung pesan-pesan tertentu yang perlu diinterpretasi untuk menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pendapat senada dikemukakan oleh Atmosuwito, yang mengatakan bahwa simbol merupakan suatu pola yang mengandung kenyataan yang tidak terlihat invisible reality yang hanya dapat ditangkap dengan penglihatan batin. Karena contoh gambar dari alam syahādah digunakan dalam menyatakan realitas yang tidak terlihat, maka dalam simbol dua kenyataan yang berbeda, yaitu kenyataan dalam dan kenyataan luar, disatukan Atmosuwito, 1989 68. Dalam Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9088teorinya tentang strata simbol, Ermatinger dalam Hinderer, 1972 menyatakan bahwa bentuk-bentuk simbol berkaitan langsung dengan bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran batin manusia. Pendek kata, manusia tidak dapat membebaskan diri dari simbol apabila memikirkan perkara-perkara yang tidak dapat dilihat dengan mata. Di sini simbol bukan hanya sekadar tanda yang membawa seseorang mengenali sesuatu, tetapi juga-khususnya dalam kaitannya dengan pengalaman keagamaan dan mistikal, berfungsi membawa seseorang mencapai pemahaman tentang wujud suci yang lebih tinggi dan tersembunyi Hadi WM, 2001 90. Gambar Judul gambar belum adaSosok Insān Kāmil dalam Naskah Sirr al-LathīfDalam tradisi sufi penggunaan simbol berhubungan dengan tradisi esoterik mereka yang menekankan pentingnya makna dalam. Lebih jauh penyair-penyair sufi memandang bahwa puisi merupakan simbol-simbol dari kebenaran dan keindahan jiwa manusia. Sebagaimana dalam tradisi besar sastra dunia yang lain, simbol-simbol atau citra-citra simbolik yang terdapat di dalam khazanah sastra sufi memilikt sejarah, latar belakang dan akar tersendiri yang khusus, yaitu gagasan keruhanian mereka dan latar belakang budaya di mana tasawuf mula-mula tumbuh dan berkembang. Selain diambil dari al-Qur’an, Hadis Nabi dan sejarah Islam, simbol-simbol dalam puisi sufi stik juga diambil dan dimodifi kasi dari tradisi lokal. Seorang ahli sufi yang terkenal pada abad ke-11 al-Qusyairī di dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyah mengatakan bahwa lahirnya simbol-simbol di dalam tasawuf, dan penggunaannya dalam pengucapan puisi sufi , berhubungan erat dengan tradisi esoterik mereka. Penggunaan simbol dimaksud agar gagasan-gagasan esoterik mereka terlindung dari pengetahuan golongan masyarakat yang tidak sepaham dengan pemikiran mereka Taftazani, 1985 134. Di dalam Kitab al-Luma` at-Thūsī mengatakan bahwa simbol-simbol adalah pengertian samar yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan lahir, dan hanya dapat dipahami oleh ahli yang menguasainya. Menurut at-Thūsī, dalam simbol, terdapat dua jenis makna 1 makna lahir dari kata-kata yaitu arti harfi ahnya; 2 makna keruhanian yang tersembunyi yang memerlukan telaah dan kajian mendalam Taftazani, 1985 134. Cara menangkap makna tersembunyi itu ialah dengan menelaahnya menurut metode takwil atau tafsir keruhanian. At-Taftazani mengatakan bahwa pada dasarnya penggunaan simbol untuk mengungkapkan kenyataan dan pengalaman keruhanian seorang ahli sufi ; yang menjadi ciri dari sufi -sufi abad ke-10 dan sesudahnya, timbul dari usaha untuk mengalihkan pengalaman kejiwaan mereka yang luar biasa kepada orang lain dengan bahasa yang dapat diindra, yaitu bahasa fi guratif majāz puisi. Simbol-simbol dalam puisi para sufi hendaknya tidak dipandang sebagai kata-kata biasa, karena setiap simbol memiliki titik pendakian ke arah pengartian luas mathla. Simbol-simbol tersebut menunjukkan pengartian yang dicipta dalam keadaan jiwa yang dinamis atau bergelora dan menggambarkan Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman89secara hidup kecenderungan perasaan, pikiran dan kalbu seorang sufi yang dilimpahi gairah ketuhanan. Pernyataan senada dikemukakan oleh Annemarie Schimmel, yang menemukan adanya pesan-pesan mistik dalam pemakaian huruf-huruf Arab yang digunakan secara luas di kalangan sufi Schimmel, 1970. PENUTUPSetelah diuraikan panjang lebar hasil kajian terhadap naskah Sirr al-Lathīf, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, ayat-ayat surat al-Fatihah dipercayai terletak pada organ-organ tubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fi kih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Dari tiga kesimpulan di atas, dapat digarisbawahi bahwa naskah ini tidaklah independen dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Ia merupakan ringkasan ajaran tasawuf yang sudah berkembang pada masa itu, dan jika dirunut ke belakang tetap ada hubungan yang erat dengan ajaran wahdah al-wujūd, yang memang sudah mengakar kuat di Nusantara. Wallāhu a’lam bi PUSTAKAAbdurrahman, 1989. “Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19”. Banjarmasin Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Subijanto. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam Sastra. Bandung CV. Sinar Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta Badan Peneliti dan Publikasi Seksi Filologi, Fak. Sastra Universitas Gadjah Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d’Extrême-Orient-Prenada Media Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta LKiS. Hadi Abdul. 2001. Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta 2010. Ilmu Gaib di Kalimantan Barat, Jakarta KPG-École française d’Extrême-Orient-KITLV dan STAIN Walter. 1972. “Theory, Conception and Interpretation of the Symbol”, dalam Joseph Strelka ed., Perspectives in Literary Symbolism. University Park and London Pennsylvania State Abd al-Karīm ibn Ibrāhīm. 1975. Al-Insān al-Kāmil fī Marifat al-Awākhir wa al-Awā’il. Beirut Dār Stephen W. 1989. Theories of Human Communication. California Wadsworth Publishing Nabilah. 1996. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta Forum Kajian Bahasa dan sastra Arab, Fak. Adab IAIN Syarif Laily. 1982. Kitab ad-Durrun Nafi s Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf. Banjarmasin Hasanu. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9090Masfi ah, Umi. 2009. Naskah Melayu Bernuansa Keagamaan Islam di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan Kajian Naskah Kitab Tahqiq di Kalimantan Selatan Laporan Penelitian. Semarang Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Dep. Agama Seyyed Hossein. 2007. The Garden of Truth The Vision and Promise of Sufi sm, Islam’s Mystical Tradition. New York Harper Reynold A. 2002. Jalaluddin Rumi Ajaran dan Pengalaman Sufi , terj. Drs. Sutejo. Jakarta Pustaka “Dinamika Intelektual Islam di Kalimantan Selatan Studi Genealogi, Referensi, dan Produk Pemikiran”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vo. 11, No. 1, Januari Syekh Nuruddin. Asrār al-Insān fī Marifah ar-Rūh ar-Rahmā, ed. Tujumah. Jakarta tp. Sahriansyah. 2009. Pemikiran Ilmu Sabuku Syekh Abdul Hamid Ambulung. Semarang Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama Annemarie. 1970. Islamic Calligraphy, Edi. “Menyikapi Warisan Budaya”, Media Indonesia, 25 Maret Michael A. 2004. Terbakar Cinta Tuhan Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, penerj. Alfati. Bandung 2001. Wahdah Al-Wujūd di Kotawaringin Studi Naskah Tasawuf Muhtar ibn `Abd al-Rahīm. Tesis S2. Semarang Pascarsajana IAIN Ahmad. 1998. Ulama Banjar Posisi dan Peranannya pada Akhir Abad XVIII. Semarang Puslit IAIN Abu al-Wafa. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi ’ Utsmani. Bandung Pustaka, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta Dunia Pustaka Mudjahirin. “Filologi dan Kebudayaan”, diakses 23 April 2013. Wollf, Janet. 1991. “Hermeneutic and Sociology” dalam Henry Etkowitz dan Ronald M. Glassman [ed.], The Renaissance of Sociological Theory. Itaca, Illinois F. E. Peacock Publisher, Inc. Zamzam, Zafri. 1979. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Banjarmasin tp. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this RahmadiThis paper tries to explore the intelectual Islamic dynamic in South Kalimantan throughthe studies on many influences that become the genealogic root of Islam in this region,and then through the religious literatures that referenced by the intelectual of religiouselite and the tipology of thought’s product that emerged for more than two the writer uses the history of social-intelectual approach with based on the writtentext. This writing tells us that the genealogical root, intelectual reference, and the tipologyof religious thought which was producted actually part of the trend of intelectual muslimdynamic which commonly spreaded in Nusantara and Southeast tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19AbdurrahmanAbdurrahman, 1989. "Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19". Banjarmasin Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Sastra dan Religiusitas Dalam SastraSubijanto AtmosuwitoAtmosuwito, Subijanto. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam Sastra. Bandung CV. Sinar Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIIIAzyumardi AzraAzra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung BariedDkk BarorohBaried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta Badan Peneliti dan Publikasi Seksi Filologi, Fak. Sastra Universitas Gadjah Syattariyah di Minangkabau Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d'Extrême-Orient-Prenada Media GroupOman FathurahmanFathurahman, Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d'Extrême-Orient-Prenada Media FayyadFayyad, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta LKiS.
SamuderaAl-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, & An-NaasThe 99 Most Eminent Names of AllahDikedalaman Samudra Al- Meracun Khodam # Tutorial 9 Terapi Air Ruqyah # Tutorial 10 Memutus Buhul Sihir # Tutorial 11 Menyembelih Jin dalam Tubuh # Tutorial 12 Memotong Jin dalam Tubuh # Tutorial 13 Membakar Jin Dalam Tubuh # Tutorial 14 Tehnik Membelah Jin
. RAHASIA Fadilah Al-FATIHAH bagi diri kita ————————————————- – 1. Bismillah = Mesrakan mulai dari Penglihatan. 2. Ar-Rahman = Mesrakan ke Pendengaran. 3. Ar-Rahim = Mesrakan ke Penciuman. 4. Alhamdulillahi Rabbil Alamin = Mesrakan ke Pengrasa. 5. Arrahmanirrahim = Mesrakan lagi dari Otak. 6. Malikiyaumiddin = Mesrakan turun ke Sum-sum. 7. Iyyakana’budu wa iyyakanasta’in = Mesrakan ke Tulang-tulang 360. 8. Ihdinas shiratal mustaqim = Mesrakan ke Urat-urat. 9. Shiratal laziina an amta alaihim = Mesrakan ke Daging. 10. Gairil magdubi alaihim = Mesrakan ke seluruh Kulit. 11. Waladdollin = Mesrakan sampai ke Bulu-bulu. 12. Amin = Mesrakan seluruh tubuh hingga SEMPURNA diri kita dzahir dan batin. . Membaca AL-FATIHAH sambil DA’IM adalah puji AL-QUR’AN dalam diri. ………….. Suka Berhenti Mengikuti Kiriman 20 Januari pukul 2049
WahaiAir yang mendengar.. wahai setiap sel tubuh yang pembuluh-pembuluh darah, urat-urat, tulang-tulang, cairan tubuh, hormon-hormon dan semua yang tidak kuketahui yang mendengarkan lantunan Al Fatihah tadi. Dengarkanlah, takutlah kalian kepada Allah.
. 255 78 476 282 218 351 464 406
hakikat al fatihah dalam tubuh